Di pembahasan kali ini, yuk kita kenali dari sekarang fenomena masalah toxic positivity agar kamu bisa mengenali dan memberikan perlindungan untuk diri kamu.
Ya, Kata Toxic merupakan sebuah kata yang akhir-akhir ini menjadi kata yang sering diucapkan oleh banyak orang ketika sudah mengalami hal-hal negatif atau bisa diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai pengaruh buruk terhadap diri baik secara mental maupun fisik. Tentunya di dalam menjalani kehidupan pasti kita akan menjumpai fase pasang surut dalam menyikapi sebuah permasalahan. Begitu pula dengan emosi yang kita punya. Ada emosi positif dan juga emosi negatif. Hari ini kita merasakan senang, kemudian besok menjadi sedih, lusa kita merasakan kecewa dan seterusnya.
Toxic positivity adalah kondisi seseorang yang menuntut, memaksa, atau memiliki obsesi untuk terus berpikir dan merasakan emosi positif dan mengabaikan emosi negatif seperti menangis, marah, kecewa yang sebenarnya perlu untuk dirasakan. Toxic positivity bisa terjadi pada siapapun dan dimanapun. Salah satunya di lingkungan tempat bekerja. Pernahkah kamu berada di kondisi yang sebenarnya kamu sendiri sedih atau marah terhadap suatu keadaan yang menimpa dan seringkali kamu berkata “Gwenchana, Gwenchanayo atau Gapapa, aku ga papa?” Nah ini yang disebut dengan fenomena Toxic Activity. Kamu lebih cenderung untuk lebih berfikir positif terhadap sesuatu yang lama kelamaan akan membuat kamu merasa lelah.
Menurut pendapat (Andrade, 2019) mengatakan bahwa bersikap positif atau positive thinking memang sebenarnya berguna untuk mengurangi perasaan atau pikiran negatif, serta meningkatkan kepercayaan diri. Namun disaat kita selalu menghindar dari hal-hal negatif, berarti kita menolak untuk menghadapi situasi dan emosi yang sesungguhnya (Quintero, 2019). Dengan selalu bersikap positif, kita jadi lupa bahwa hal-hal negatif juga merupakan bagian dari kehidupan dan emosi manusia. Perasaan seperti ketidakpuasan dan ketidaknyamanan malah yang sebenarnya mendorong kita untuk memperbaiki suatu situasi, bukan sekedar menyesuaikan respon terhadapnya (Breheny & Calder-Dawe, 2021).
Kondisi tersebut sangat tidak baik untuk kesehatan mental kita karena seseorang yang melakukan hal tersebut akan selalu berusaha untuk menghindari emosi-emosi negatif, seperti perasaan sedih, kecewa, marah yang selalu dipendam dan terlalu lama akan menjadi menumpuk dan pada akhirnya pada titik puncaknya bisa membuat kita menjadi burnout.
Ternyata ada istilah it’s not okay to always be okay, kan? Ekspektasi berpikir ke sisi positif dapat menjadi tekanan untuk seseorang. Hal ini menimbulkan diri sendiri maupun lingkungan untuk selalu melihat ketidakpercayaan pada diri seseorang terhadap situasi yang tidak nyaman (Breheny & Calder-Dawe, 2021).
Lama-kelamaan, alih-alih merasa senang terhadap kehidupannya, seseorang malah akan merasa lebih negatif dan memperburuknya. Kemampuan beradaptasi dan mengatur emosi adalah hal penting untuk mencapai sesuatu (achievement) baik di tempat kerja, dalam keluarga, maupun di latar sosial lainnya (Gross, 2014).
Nah ternyata dampak dari adanya toxic positivity di tempat kerja akan berpengaruh pada hubungan antar pekerja serta produktivitas karyawan. Hal ini karena diperlukannya pencapaian dan perkembangan diri untuk bisa mencapai kebahagiaan sesungguhnya (Mageed & Mohamed, 2020). Dalam pengembangan diri diperlukan suatu dorongan pada diri sendiri agar seseorang bisa lebih maju. Kita tidak akan berkembang hanya dengan respon positif yang mana menghalangi feedback yang membangun. Tidak hanya pada hubungan antara pemimpin dan organisasi, atau supervisor dengan bawahannya. Namun, kita juga perlu memperhatikan diri kita sendiri dimana toxic positivity bisa saja bermulai dari kita, terutama saat mengalami kondisi penuh tekanan dalam pekerjaan.
Penting untuk mengakui bahwa setiap orang memiliki emosi, baik positif maupun negatif, dan itu adalah bagian normal dari kehidupan. Menerima emosi negatif juga merupakan langkah pertama untuk mengatasi mereka bahwa individu berhak dalam menyampaikan sesuatu hal yang mungkin membuatnya lega walaupun hati kita tidak menerima.
2. Praktek Keseimbangan Emosional Arahkan diri kamu sendiri untuk mengenali emosi baik positif maupun negatif, dan berlatih untuk menyeimbangkan. Menerima emosi negatif atau merasa bersalah dapat membantu kamu untuk mengelola emosi dengan lebih efektif.
3. Komunikasi Secara Terbuka Jika kamu mendengar kata-kata positif yang terasa kurang tepat atau tidak relevan dalam situasi tertentu, jangan ragu untuk menyampaikan kepada orang tersebut. Ajukan pertanyaan atau ungkapkan perasaan kamu dengan jujur sehingga orang lain bisa memahami perspektif dari diri kamu.
4. Pentingnya Empati: Menjadi empati terhadap perasaan dan pengalaman orang lain adalah kunci untuk membentuk hubungan baik. Jangan meremehkan perasaan orang lain dengan memberikan respons yang terlalu positif. Sebaliknya, Cobalah menjadi pendengar yang baik dan berikan dukungan sesuai dengan situasinya, jangan menambahkan hal-hal yang membuatnya menjadi sedih dll. Kamu bisa menanyakan kepada mereka apa yang sedang dialami dan apakah kamu dapat membantunya.
5. Mencari Dukungan yang Sehat Jika kamu merasa sulit mengatasi emosi negatif atau merasa tertekan oleh toxic positivity, pertimbangkan untuk mencari dukungan dari teman, keluarga, atau seseorang yang kamu percaya.. Berbicaralah dengan orang-orang yang dapat mendengarkan tanpa menghakimi yang bisa membantu kamu merasa didukung dan dipahami.
6. Pendidikan dan Kesadaran Pendidikan tentang kesehatan mental dan kesadaran emosional dapat membantu memahami perbedaan antara positivitas yang sehat dan toxic positivity. Semakin banyak kamu memahami konsep ini, semakin mudah bagi kamu untuk mengenali dan mengatasi sikap yang tidak sehat.
7. Praktek Self-Compassion Mulailah Love Yourself dan mendukung diri sendiri dalam menghadapi kesulitan adalah keterampilan yang penting dilakukan. Kegiatan self-compassion memberikan diri kamu izin untuk merasa sedih, marah, atau stres tanpa menghakimi diri sendiri. Hal Ini membantu dalam mengurangi tekanan toxic positivity.
Ingatlah selalu bahwa dalam memahami dan mengelola emosi adalah bagian alami dari kehidupan, dan kita tidak selalu memerlukan reaksi positif yang secara berlebihan. Apabila kamu dapat menyeimbangkan emosi dan dukungan yang tepat maka kamu dapat mengatasi toxic positivity dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat untuk diri sendiri dan orang lain di sekitar kamu.
Meskipun membutuhkan waktu dan juga kesabaran dalam mengatasi toxic positivity, dengan membaca tulisan ini adalah awal yang baik untuk kamu. Mulailah harimu dengan Love Yourself dan bangun relasi yang baik dengan sekitarmu.
Luar biasa, NEC mendapatkan penghargaan Indonesia Education Excellent Award 2016 National English Centre berhasil meraih penghargaan Indonesia Education Excellent Award […]
Siapa yang tidak mengetahui bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional? Bahasa Inggris menjadi bahasa internasional karena merupakan salah satu bahasa […]
Bahasa adalah sebuah media berkomunikasi yang harus dikuasai seseorang. Kemampuan berbahasa sudah tertanamkan dalam diri seseorang sejak kecil. Ia akan […]