Review Buku: Mendidik Karakter dengan Karakter (Part 2)

Judul Buku : Mendidik Karakter dengan Karakter
Penulis : Ida S. Widayanti.
Cetakan : ke-4, Juli 2013
ISBN : 978-979-1328-65-4
Penerbit : Arga Tilanta
Jumlah halaman : 144

Di part satu kita sudah membahas empat kisah dari buku ini yaitu Bercermin pada Masa Kecil Michael Jackson, Jalan Pikiran Anak, Anak Ingin Pandai dan Penularan Emosi. Pada part dua ini kita akan membahas tentang Menembus Keterbatasan dan Menghibur Hati Anak.

  1. Menembus Keterbatasan

Seorang gadis kecil tidak bisa melihat dan mendengar. Ia merasa dunia ini sunyi dan tanpa warna. Kedua panca indranya yaitu mata dan telinga lenyap sejak ia balita karena sebuah penyakit. Mulutnya mampu mengeluarkan suara, tapi ia tak mampu bicara. Bahasa isyarat yang ia gunakan tidak memadai sehingga orang lain sulit untuk memahami keinginannya. Kegagalan mengkomunikasikan apa yang ia rasakan dan inginkan kerap kali menimbulkan ledakan kemarahan dan amukan.

Kedua orang tuanya sangat sedih, mereka tidak bisa melakukan apa-apa karena rumah mereka berada di daerah terpencil tidak ada sekolah untuk tunanetra dan tunarungu.

Akhirnya ada seorang guru yang membimbing dan menuntunnya. Awalnya tak mudah. Suatu kali ia kesulitan mempelajari kata water, kemudian ia membanting boneka barunya hingga menjadi pecahan kecil. Ia merasa senang ketika gurunya menyapu pecahan boneka tersebut. Tak ada penyesalan ketika melakukannya, ia merasa senang karena bisa melampiaskan rasa ketidaknyamannya.

Lalu apa yang dilakukan oleh sang guru? Ia membawanya si anak keluar untuk berjalan-jalan, kemudian guru itu meletakan tangan si anak dibawah saluran air merasakan sejuknya air. Guru itu mengeja kata water. Ia baru tau segala sesuatu memiliki nama dan melahirkan gagasan. Ia merasa dunia mulai bercahaya meskipun harus melewati perjuangan belajar dan terus belajar.

Dialah Helen Keller, penyandang tunanetra dan tunarungu yang mendapatkan gelar sarjana pertama. Selain bahasa Inggris, ia juga menguasai bahasa Jerman, Prancis dan latin.

Sang guru yang mengajarkannya dengan penuh cinta adalah Anne Sullivan. Menurut Helen, ia hanya butiran-butiran kemungkinan. Gurukulah yang membuka dan mengembangkan kemungkinan itu.

Menurut Helen, semua guru bisa membawa seorang anak ke ruang kelas, tapi tidak semua guru bisa membuat muridnya belajar.

Kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya peran seorang guru bagi perkembangan jiwa maupun kemampuan akademik anaknya.
Seorang ahli pendidikan mengatakan, “Meski di gedung yang mewah, tanpa guru berkualitas, proses pendidikan berkualitas tidak akan berlangsung. Namun dengan guru berkualitas, di bawah sebatang pohon pun proses pendidikan berkualitas akan berlangsung”.

  1. Menghibur Hati Anak

Seorang anak kecil yang bernama Omar kerap kali mendapat ledekan julukan ‘Omar Pincang’ karena ia menderita polio yang menyebabkan kedua kakinya tidak seimbang. 

Suatu hari Omar ingin bermain bersama dengan teman-temannya. Namun bukan sambutan yang ia dapatkan melainkan gelak tawa penghinaan. Ia pulang dengan perasaan sedih dan tangisan yang tak kuasa dibendungnya.

Setibanya di rumah. Sang ibu menanyakannya dengan lembut apa yang membuatnya menangis. Omar pun menceritakan kejadian yang dialaminya. Lalu ibu bertanya yang sakit di kaki atau di kepalanya. Omar menjawab di kakinya. Ibu bertanya kembali apakah teman-teman Omar kakinya sakit juga. Omar pun menggelengkan kepalanya. Jika kaki mereka tidak sakit tapi berjalan pincang, maka yang sakit apanya, tanya sang ibu. Omar terdiam.

Ibunya menjelaskan kakinya Omar sakit, tapi kepalanya tidak. Omar bisa pergi jauh. Tapi kalau kaki baik tapi isi kepala tidak baik, Omar tidak bisa pergi kemanapun.

Pernyataan ibunya membekas dihati Omar. Ia menyadari kekurangan dirinya, namun ia meyakini bisa memaksimalkan apa yang ia miliki. Kini Omar bisa pergi ke negeri-negeri jauh. Pendidikan S1, S2 dan S3 ditempuh di 3 negara yang berbeda dan Omar pun menjadi seorang profesor.
Kisah tersebut mengingatkan kita pada masalah yang kerap dialami oleh anak-anak, yaitu menerima penghinaan dari teman-temannya. Ketika si anak pulang kerumah dalam keadaan menangis. Orang tua bermaksud untuk menghibur hati si anak dengan pujian, namun tidak sesuai dengan kenyataan. 

Ketika seorang anak menangis karena dibilang ‘si hitam’. Sang ibu mengatakan kamu putih, mereka yang salah lihat. Cara seperti ini bisa menghilangkan tangisan si anak tapi bisa menimbulkan dampak negatif di kemudian hari. 

Dampak negatifnya :

  1. Anak tidak mengetahui realita yang sebenarnya.
  2. Ketika anak sudah dewasa, ia akan menyadari pernyataan ibunya adalah salah. Hal itu akan menurunkan kepercayaan kepada ibunya.
  3. Anak akan senantiasa haus dengan pujian.
  4. Anak tidak akan terdorong untuk meningkatkan kemampuannya.

Belajar dari kisah di atas, Ibu Omar tidak memuji anaknya tidak berlebihan dan tidak menolak realitas yang ada. Ibu Omar mengatakan memang ada kekurangan pada kaki Omar, akan tetapi ada kelebihan lain yang dapat ditingkatkan sehingga Omar mampu mencapai puncak kesuksesan.

Dari dua kisah di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa metode dan pendekatan guru ketika mengajar menjadikan hal yang tidak mungkin bisa menembus keterbatasan dari murid yang diajarinya. Serta sikap seorang ibu yang tidak berlebihan dalam memuji anaknya dan tidak menolak realitas yang ada  mampu menjadikan seorang anak mencapai puncak kesuksesannya.

Semoga kita bisa mencontoh sikap yang ditunjukan oleh seorang guru dan ibu yang terdapat pada dua kisah di atas.

Di National English Centre adalah salah satu tempat kursus yang mempunya program IEC yaitu Islamic English Club. Program IEC didesain khusus untuk Sekolah Dasar Islam/Terpadu (SDI/SDIT) yang mengharapkan adanya program bahasa Inggris bermutu berstandar Internasional dipadukan dengan nilai-nilai Islami di dalamnya. Sehingga diharapkan Peserta didik tidak hanya mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris tapi juga tetap menjaga nilai-nilai akhlaqul karimah di dalamnya.

Program ini dibuat untuk memfasilitasi peserta didik untuk berkomunikasi dan mempersiapkan kemampuan bahasa yang berstandar Internasional. Kurikulum didesain berdasarkan Standar CEFR (Common European Framework of References) kurikulum University of Cambridge dipadukan dengan kurikulum nasional yang sangat mendukung implementasi kurikulum sekolah di sekolah dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Leave a Reply