Review Buku: Mendidik Karakter dengan Karakter

\"\"

Judul Buku : Mendidik Karakter dengan Karakter
Penulis : Ida S. Widayanti.
Cetakan : ke-4, Juli 2013
ISBN : 978-979-1328-65-4
Penerbit : Arga Tilanta
Jumlah halaman : 144

Buku ini terdiri dari empat bagian,
Bagian satu : Dahsyatnya Masa Kecil
Bagian dua : Karena Anak-anak Percaya Apapun yang Orang tua Katakan
Bagian tiga : Mandiri Sejak Dini
Bagian empat : Prinsip Pengasuhan

Pada bagian satu ada delapan judul yang disajikan

1. Bercermin pada masa kecil Michael Jackson
Disini kita belajar pentingnya masa kecil yang bahagia untuk anak-anak. Ketika orang tua melakukan yang terbaik untuk anaknya, maka perhatikan juga apakah yang akan dilakukan akan menimbulkan luka batin atau tidak. Luka batin yang didapatkan dari trauma masa kecil. 

Masa kecil sepertinya terlihat sepele, namun sungguh sangat penting. Rasulullah pernah memperlama sujudnya ketika ada cucunya yang naik ke punggungnya ketika shalat. Itu adalah contoh membahagiakan mereka, bahkan ketika sedang beribadah.

Melalui kebahagiaan, mereka akan membangun masa depannya.
Renungkanlah. Apakah saat ini, kita sudah membuat mereka bahagia?

2. Jalan pikiran anak
Suatu hari, karena keributan di kelas, guru menghukum mereka. Agar hukuman itu mendidik guru memberikan hukuman menjumlahkan angka 1 sampai 100. Ada satu anak tidak sampai satu menit sudah menyelesaikan hasil hitungannya dan ternyata jawabannya benar.
Anak tersebut tumbuh menjadi seorang yang pandai dalam memecahkan persoalan masalah. Dunia mengenalnya dengan nama Carl Friedrich Gauss (1777-1855) ahli matematika dan ilmuwan dari Jerman.
Andai Gauss kecil disalahkan karena cara menyelesaikan yang berbeda dari yang diajarkan oleh gurunya, bisa jadi ia akan tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri.
Anak-anak bagaikan benih. Sejenius apapun anak ketika tidak didukung oleh orang tua, guru dan lingkungan. Ia tidak akan menjadi orang yang hebat.

Mari kita biarkan anak-anak pelajari sendiri, diri dan dunia ini dengan cara pandang mereka sendiri karena anak-anak berpikir dan menciptakan jalanya sendiri dalam memahami persoalan. Cara atau jalan mereka memang tidak sama seperti yang dipakai oleh orang dewasa.

3. Anak Ingin Pandai
Suatu seorang ayah sedang membetulkan motornya, lalu sang anak memperhatikan dengan penuh perhatian.
Akhirnya, anak tersebut merasa bahwa dirinya adalah anak yang nakal. Walaupun ketika dewasa ia telah berubah, tapi kemarahan di dalam hatinya kepada orangtuanya tidak berubah.
Suatu hari, ketika pergi bersama ibunya, ia ngambek minta  dibelikan motor-motoran. Di Rumah motor-motoran tersebut ia bongkar seperti yang dilakukan ayahnya. Kemudian ibunya memukuli dengan gagang sapu.
Ketika ia melihat ayahnya membongkar sepeda motor, ia mengambil sapu dan memukuli ayahnya seperti yang pernah dilakukan ibunya. Ayahnya kaget dan memukulnya dengan sapu agar ia jera. 
Ketika liburan ke kampung halaman, kakeknya mengatakan ia adalah anak yang nakal karena mendengar cerita dari orang tuanya. 
Ia begitu marah kepada orang tuanya karena telah menyebarluaskan apa yang pernah ia lakukan. Padahal yang ia lakukan selama ini hanyalah sekedar memuaskan rasa keingintahuannya.

Dalam buku ini terdapat tulisan “sebagai khalifah di muka bumi, manusia dikaruniai rasa ingin tahu oleh Allah. Rasa ingin tahu adalah modal seorang anak untuk mencapai apa yang diinginkan oleh semua orangtua, yaitu ‘pandai’. Namun, respon orangtua terhadap rasa ingin tahu anak sering kali tanpa disadari justru mematikan fitrah sang anak untuk menjadi khalifah. Semoga kisah nyata di atas menjadi ibrah bagi kita semua.”

4. Penularan Emosi
Ketika ibu pulang bekerja dalam kondisi sangat lelah dan bayang-bayang pekerjaan yang menumpuk masih terbawa sampai ke rumah. Sesampainya di rumah ia melihat rumah yang berantakan dan di sambut oleh anak-anaknya yang meminta ini dan itu. Karena rasa yang sangat lelah ia memutuskan untuk masuk ke kamar dan mengunci pintunya.
Diluar sang anak berteriak-teriak ingin bermain dengan ibunya. Ibu yang lelah seharian bekerja berharap anak-anak mengerti kondisinya. Ibu tersebut lupa sikap yang ditunjukkannya itu membawa jejak di otak anaknya. Jika hal itu sering dilakukan, suatu saat ketika anak dewasa ia akan melakukan hal sama kepada ibunya. Mungkin si ibu akan sakit hati kepada anaknya, padahal dulu ibunya yang menanamkan sikap itu kepada anaknya.
Akan tetapi jika ibu mengatakan kata-kata yang baik yang membuat anak bisa memahami kondisi ibunya, maka anak akan meniru sikap ibunya.

Saat lelah, penting bagi ibu untuk bisa mengelola emosi karena emosi bisa menular. Jika dalam keadaan lelah si ibu bisa tersenyum dan tetap ramah kepada anak, anak pun akan merasa nyaman, pancaran bahagia di wajah ibu akan menular ke anak. Anak akan memiliki konsep dalam pikirannya, si ibu sosok yang menyenangkan apapun kondisinya. Hubungan ibu dan anak akan terjalin dengan indah.

Melalui buku ini, orangtua akan diajak untuk memahami dunia anak-anak. Ya, memahami dunia anak-anak sebenarnya menyenangkan, bahkan bisa mengubah karakter orangtua dari negatif menjadi lebih positif.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top