Belajar Budaya atau Belajar Bahasa?

Adalah Pellegrino Riccardi, a language-traveller, yang menyuarakan perlunya mengetahui budaya dari bahasa yang kita pelajari. Sebagai keturunan Italia yang tumbuh di Inggris, lalu menetap di Norwegia, Riccardi menemukan bahwa mengetahui budaya membuat kita menjadi lebih mudah dalam berkomunikasi, lalu berkolaborasi. Budaya merupakan suatu sistem yang membantu kita diterima atau merasa akrab 

Ada banyak alasan mempelajari bahasa (baru). Namun semua bermuara pada kemudahan untuk berkomunikasi, baik dalam kehidupan kerja maupun keseharian. 

Prof. Alexander G Flor, PhD, pakar komunikasi budaya dan informasi, menyampaikan bahwa sejumlah masalah komunikasi terkait dengan lingkungan alam, sosial dan budaya. Hal ini dikarenakan budaya dan komunikasi memiliki peranan yang sangat sentral dalam keberlangsungan hidup manusia dan lingkungannya.

Banyaknya peluang beasiswa (kuliah) dan kerja di luar negeri, membuat banyak orang memilih untuk belajar atau bekerja di negara lain. Beberapa tahun terakhir, muncul tawaran beasiswa untuk tingkat SMP dan SMA. 

Grafik di atas menunjukkan kenaikan jumlah pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri. Bahkan untuk anak Indonesia yang lahir saat orang tua mereka bekerja atau belajar di luar negeri, mereka mencicipi sistem pendidikan yang berbeda sejak usia dini. 

Tinggal di luar negeri memang terdengar keren. Namun, ternyata, ada banyak kerja keras yang harus dilakukan untuk itu. Mempelajari bahasa yang digunakan di negara tersebut adalah suatu kepastian. Tanpa itu, akan sulit untuk berkomunikasi di keseharian, baik secara lisan maupun tulisan. 

Mampu berbahasa asing ternyata belum lengkap tanpa mengetahui budaya di negara tujuan. Budaya membantu kita untuk menggunakan bahasa dengan kesesuaian. Ditambah lagi, bahasa bertumbuh. Dalam arti, ada inovasi atau sentuhan budaya. 

Jika kamu pernah mendengar urban dictionary, itu merupakan satu contoh perkembangan budaya. Bahasa pergaulan banyak berkembang di kalangan remaja. Vera Regan, seorang sosiolinguistik, menemukan bahwa remaja putri adalah penyumbang terbesar pada kata perkembangan bahasa.

Saat bersinggungan  dengan masyarakat sekitar, kita perlu mengetahui kesesuaian bahasa di keseharian. Dengan begitu, akan mudah bagi kita untuk diterima dalam pergaulan. 

Selain itu, mengetahui budaya di negara tujuan juga membantu meminimalisir kesalahan dalam bermasyarakat.

Budaya juga mencakup kebudayaan. Di Indonesia, kita terbiasa membeli minuman kemasan saat diluar rumah. Di Perth (Australia Barat), membawa botol minum saat beraktifitas diluar adalah pemkamungan yang umum. Mereka terbiasa mengisi ulang botol minum mereka dengan air kran yang dapat dengan mudah ditemui di tempat umum. 

Ini menjadi alasan mengapa saat mengajar bahasa (asing), pengajar perlu memperkenalkan sedikit tentang budaya negara tersebut. Dengan begitu, siswa mengetahui alasan di balik kebiasaan tersebut. 

Emmit dan Pollock (1997) menemukan bahwa 2 orang yang mempelajari bahasa yang sama, namun berada di lingkungan (budaya) yang berbeda, maka mereka akan memiliki persepsi yang berbeda pula. Penelitian ini dilanjutkan Asmat Nabi (2017) yang menemukan bahwa bahasa yang digunakan seseorang menunjukkan budayanya.

Misal, di Indonesia, kita memiliki kebiasaan menyapa seseorang dengan pak, bu, mas atau mba. Termasuk saat mengobrol, kita tetap menggunakan sapaan itu sebagai penghormatan. Dalam berbicara dengan orang yang baru dikenal, kita banyak menggunakan bahasa formal.

Di Amerika, di dunia kerja, mereka terbiasa memanggil seseorang dengan nama keluarga. Bukan nama depan. Mereka bahkan menggunakan kata kamu (you) saat berkomunikasi dengan yang lebih tua. Bahasa yang digunakan terdengar ringan dan santai. 

Tentu saja kedua kebiasaan ini merupakan hal yang lumrah di kedua negara tersebut. Saat kita berada di Amerika, tentu kita akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan disana.

Contoh lainnya, dalam bahasa Indonesia, tidak ada perubahan kata kerja (sesuai keterangan waktu). Kata makan pada, “saya makan”, “saya sedang makan”, “saya sudah makan”, tidak mengalami perubahan, berlepas pada keterangan waktu yang berbeda. 

Dalam bahasa Inggris, kita akan menemukan , “I eat”, “ I am eating” , “I ate”, dimana kata makan (eat), berubah sesuai keterangan waktu.

Hal lain yang berpengaruh pada pembelajaran bahasa adalah pengucapan. Pengajar harus memastikan siswa mengucapkan kata dengan benar. Terutama jika bahasa keseharian kita memiliki pengucapan yang sangat berbeda.

Seperti kata biology (dalam bahasa Inggris) yang memiliki arti sama (biologi dalam bahasa Indonesia). Spontan, siswa membaca biologi, yang seharusnya biology. Jika ini terjadi, maka pengajar harus mengingatkan untuk membacanya biology.

Atau kata sweater (pakaian hangat), yang sering dibaca sweter. Ini tentu memiliki arti berbeda, karena sweter dekat dengan kata sweeter (yang artinya lebih manis). 

Untuk menghindari kesalahan dalam pengucapan, banyak buku pembelajaran (self-study) yang menyisipkan audio untuk membantu pelatihan pengucapan.

Jika kamu belajar dengan tutor, maka pengajar akan memberikan contoh pengucapan yang benar. Untuk itu, sangat penting bagi pengajar untuk mengecek sebelum mengajar.

Media seperti lagu atau film, sudah lama digunakan sebagai alat bantu siswa untuk latihan menyimak. 

Ketika kita menggunakan suatu bahasa, ada beberapa hal yang mempengaruhi. Ekspresi wajah dan gerak tubuh contohnya. Jika salah dalam menggunakan keduanya, kemungkinan akan membuat orang yang kita ajak berkomunikasi  merespon berbeda.

Budaya, dalam konteks pengajaran bahasa, dibagi menjadi 2, budaya sebagai konteks dan budaya sebagai content (muatan). Dalam pengajaran, budaya masuk sebagai muatan. 

Budaya dipilih sebagai muatan dalam bentuk tema. Pada pendidik, menggunakan tema tersebut untuk mengembangkan materi pengajaran. Dengan pendekatan budaya, pengajar dapat memulai dengan kebiasaan siswa dalam situasi tertentu, dan bagaimana kebiasaan masyarakat (pengguna bahasa yang dipelajari). 
C:\Users\Menul Sholehah\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\New Picture (1).bmpC:\Users\Menul Sholehah\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\New Picture.bmp

Kedua gambar diatas menggunakan pendekatan budaya, dengan tema antri. Pengajar menggunakan bahasa (target language) untuk mendiskusikan tema tersebut. Siswa akan mulai menyampaikan pendapat mereka tentang kedua gambar, dan berakhir dengan menyampaikan perbedaan kebiasaan mengantri kebiasaan di negara mereka dan Negara yang sedang dibahas.

Budaya juga mencakup kebudayaan. Di Indonesia, kita terbiasa membeli minuman kemasan saat diluar rumah. Di Perth (Australia Barat), membawa botol minum saat beraktifitas diluar adalah pemkamungan yang umum. Mereka terbiasa mengisi ulang botol minum mereka dengan air kran yang dapat dengan mudah ditemui di tempat umum. 

Ini menjadi alasan mengapa saat mengajar bahasa (asing), pengajar perlu memperkenalkan sedikit tentang budaya negara tersebut. Dengan begitu, siswa mengetahui alasan di balik kebiasaan tersebut. 

Emmit dan Pollock (1997) menemukan bahwa 2 orang yang mempelajari bahasa yang sama, namun berada di lingkungan (budaya) yang berbeda, maka mereka akan memiliki persepsi yang berbeda pula. Penelitian ini dilanjutkan Asmat Nabi (2017) yang menemukan bahwa bahasa yang digunakan seseorang menunjukkan budayanya.

Bahasa dan budaya berkembang bersama (Elisa Abbot) dan saling mempengaruhi. Kita tidak bisa memahami salah satu tanpa mempelajari yang lain. 

Jika kamu berbicara dan berpikir (dalam bahasa Inggris), kamu memiliki cara pandang berbeda pada satu hal. Jika kamu tumbuh sebagai seorang bilingual atau multilingual, akan berpengaruh pada cara pandang kamu. Seseorang yang tumbuh dengan banyak bahasa di sekitarnya, maka ia menjadi lebih adaptif terhadap bahasa baru. Bahasan tentang ini bisa ditemukan pada tema bilingual.

Jika kamu adalah pengajar, selipkan budaya bahasa tujuan dalam pembelajaran. Dengan begitu, siswa dapat memahami alasannya. 

Jika ada adalah pembelajar, terima informasi tentang budaya lain sebagai cara untuk memahami cara mereka berperilaku dan merespon suatu keadaan. Jangan menutup diri atau bahkan merendahkan budaya lain, hanya karena melihat itu tidak selaras dengan nilai-nilai yang tumbuh bersama kamu.

Kita tidak perlu selalu setuju dengan budaya (nilai-nilai) lain. Tapi dengan mengetahui budaya lain, akan membantu kita saat bersinggungan dengan partner kerja dari negara lain. Kita dapat menjaga reaksi kita dan memahami reaksi mereka.

Selamat berproses. 

Leave a Reply